Minggu, 29 April 2018

Norma, Moral, dan Etika dalam Bisnis Global


NORMA, MORAL DAN ETIKA DALAM BISNIS GLOBAL

Dilihat dari perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan antar bangsa-bangsa. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Roberson (1721-1793) menegaskan bahwa perdagangan memperlunak dan memperhalus cara pergaulan manusia. Begitupun menurut filsuf dan ahli ilmu politik Perancis, Montesquieu (1689-1755) yaitu hampir menjadi gejala umum bahwa di mana adat istiadat bersifat halus, di situ ada perdagangan, dan dimana ada perdagangan di situ adat istiadat bersifat halus. Yang pasti perdagangan sanggup menjembatani jarak jauh dan menjalin komunikasi serta hubungan baik antara manusia.
Hubungan yang sudah memiliki tradisi lama itu kini tampak dengan cara baru. Dengan sarana transportasi dan komunikasi yang dimiliki sekarang bisnis menjadi lebih penting lagi. Namun gejala globalisasi ekonomi jika dipandang dari sudut moral memiliki sisi negatif dan positif. Di satu pihak meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak bisa berakhir dalam suasana konfrontasi dan permusuhan karena mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang dipertaruhkan di situ. Berikut beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional :

1.              Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional
Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Richard De George membicarakan 3 jawaban atas masalah itu. Tiga-tiganya ada benarnya dan ada salahnya, tapi secara menyeluruh tidak bisa diterima. Berikut ketiga jawaban :
1.        Menyesuaikan diri
Untuk menunjukan sikap yang tampak dalam pandangan pertama bahasa Indonesia menggunakan peribahasa “Di mana bumi berpijak, disana langit dijunjung”. Maksudnya kalau sedang mengadakan kegiatan di tempat lain, bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu.
Kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini maksudnya norma-norma moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku manusia bisa berbeda diberbagai tempat. Sehingga memperhatikan situasi yang berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
2.        Rigorisme moral
Pandangan ini dapat disebut rigorisme moral karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain.
Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di suatu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain.
3.        Imoralisme naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu berpegang pada norma-norma etika. Memang harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (sejauh ketentuan itu ditegakan di negara bersangkutan) tetapi tidak terikat oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi merugikan karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan lain yang tidak begitu scrupulous atau cermat dengan etika akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. 

·           Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional
Dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Para konsumen justru merasa beruntung sekurang-kurangnya dalam jangka pendek karena dapt membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen menderita kerugian karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah itu.
Dumping produk bisa terjadi karena si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga. Sebenarnya praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional dengan sendirinya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan sistem pasar bebas.
Kriteria yang dipakai untuk menentukan ada tidaknya dumping, Kwik Kian Gie menegaskan bahwa menekan harga ekspor dengan memberikan upah yang tidak adil menurutnya tergolong dumping juga. Jika faktor penyusutan aktiva sepenuhnya dibebankan kepada harga produk yang dijual di dalam negeri sedangkan faktor itu tidak dikalkulasikan dalam harga ekspor, keadaan itu harus dinilai sebagai dumping. Dalam hal dumping satu faktor biaya tertentu yaitu penyusutan aktiva tetap harus sama standarnya. Untuk standar upah buruh harus ada batasan minimumnya.
Sulit memang menentukan adanya dumping. Bertumpu pada kesadaran tidaklah cukup, dibutuhkan suatu pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu prosedur obyektif yang menerapkannya. Meskipun dalam organisasi perdagangan dunia (WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya.

·           Peranan Etika dalam Bisnis
Jika perusahaan ingin mencatat suksses dalam bisnis menurut Richard De George membutuhkan 3 hal pokok yaitu produk yang baik, manajemen yang mulus, dan etika. Guna memperoleh produk yang baik, si pebisnis bisa memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern. Guna mencapai manajemen yang mulus, si pebisnis bisa memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. Namun dibandingkan dengan segala usaha dan program yang diadakan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan bisnis, etika daam bisnis masih sangat terbatas. Tetapi yang penting sekarang peranan etika mulai diakui dan diperhatikan. Berikut adalah kesimpulan umum tentang berbagai aspek dari peranan etika dalam bisnis:

·           Bisnis Berlangsung dalam Konteks Moral
Ternyata makin maju suatu masyarakat, makin besar pula ketergantungan satu sama lain dibidang ekonomi. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak dalam masyarakat modern. Tetapi kalau merupakan suatu fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral. Berikut adalah beberapa pendapat yang masih menyangkal perkaitan etika dengan bisnis:
·           Mitos mengenai bisnis amoral
Sebagaimana fungsi khusus matahari adalah memancarkan cahaya serta panas dan di situ tidak masuk faktor etika, demikian juga pebisnis membatasi diri pada tugasnya saja. Richard De George menyebut pandangan itu the myth of amoral business, mitos yang mengatakan bahwa bisnis itu amoral saja. Dalam bisnis orang menyibukan diri dengan jual beli, membuat produk / menawarkan jasa dengan merebut pasaran dan mencari untung tetapi orang tidak berurusan dengan etika / moralitas.
Bahwa bisnis itu sendiri netral terhadap moralitas jadi amoral merupakan suatu mitos / cerita dongeng saja, berarti tidak benar. George mengatakan bahwa mitos itu telah ditinggalkan karena nilai-nilai moral tidaklah kalah penting. De George menemukan 3 gejala dalam masyarakat yang menunjukan sinarnya mitos tersebut. (1) dalam media massa sering diberi liputan luas kepada skandal-skandal di bidang bisnis. Bisnis ternyata disoroti tajam oleh masyarakat. Masyarakat tidak ragu-ragu mengaitkan bisnis dengan moralitas. (2) Bisnis diamati dan dikritik oleh semakin banyak LSM terutama LSM konsumen dan LSM pecintan lingkungan hidup yang berkaitan dengan etika. (3) Bisnis sendiri mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya. Hal itu tamapak dalam refleksi yang mereka buat mengenai aspek-aspek etis dari bisnis melalui konferensi, seminar, artikel dalam surat kabar, timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh semakin banyak perusahaan dll.
Kini telah terbentuk keyakinan cukup mantap bahwa bisnis tidak terlepas dari segi moral. Bisnis tidak saja berurusan dengan angka penjualan (sales figures) / adanya profit pada akhir tahun anggaran. Good bussiness memiliki juga suatu makna moral.

·           Mengapa bisnis harus berlaku etis?
Bertanya mengapa bisnis harus berlaku etis sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis hanya merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum. Secara singkat ada 3 jawabannya berasal dari agama, filsafat modern dan filsafat Yunani Kuno:
1.        Tuhan adalah hakim kita
Menurut agama, sesudah kehidupan jasmani manusia hidup terus dalam dunia baka di mana Tuhan sebagai Hakim Maha Agung akan menghukum kejahatan yang pernah dilakukan dan mengganjar kebaikan. Walaupun tentu sangat diharapkan setiap pebsinis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya menjadi tugas agama (bukan etika filosofis) mengajak para pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral itu.
2.         Kontrak sosial
Hidup dalam masyarakat berarti mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan nilai-nilai tersebut. De George menerapkan pandangan itu atas sektor bisnis. De George menegaskan: morality is the oil as well as the glue of society and therefore of business.  Minyak pelumas karena moralitas memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain dalam masyarakat. Lem karena moralitas mengikat dan mempersatukan orang-orang bisnis seperti juga semua anggota masyarakat lainnya. Moralitas merupakan syarat mutlak yang harus diakui semua orang jika kita ingin terjun dalam kegiatan bisnis.
3.         Keutamaan
Menurut Palto dan Aristoteles keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik adalah penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh bukan menurut aspek tertentu saja. Mestinya pebisnis menjalankan pekerjaannya dengan baik serta jujur. Karena jika ia berada di luar moral community, ia membuang martabatnya sebagai manusia sehingga ia tidak bisa lagi disebut makhluk moral.

2.                  Kode Etik Perusahaan
Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan
Suatu fenomena yang masih agak baru adalah kode etik tertulis untuk sebuah perusahaan. Fenomena itu mulai mencuat dalam dasawarsa 1970-an karena terjadinya skandal korupsi dalam kalangan bisnis. Baru setelah itu timbul keinsafan untuk mencegah terjadinya hal negatif itu. Perkembangan itu mulai tampak di Amerika Serikat kemudian diikuti Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya.
Pada kenyataannya kode etik perusahaan ada beraneka ragam. Patrick Murphy menggunakan istilah umum ethics statements dan membedakan 3 macam. Pertama, terdapat value statements atau pernyataan nilai. Dokumen seperti itu singkat saja dan melukiskan apa yang dilihat oleh perusahaan sebagai misinya. Jadi nilai-nilai yang dikemukakan sering kali lebih luas daripada nilai-nilai etis saja. Kedua, ada corporate credo atau kredo perusahaan. Yang biasanya merumuskan tanggung jawab perusahaan terhadap para stakeholder khususnya konsumen, karyawan, pemilik saham, masyarakat umum, dan lingkungan hidup.
Pernyataannya sering kali lebih panjang dan meliputi beberapa alinea tetapi masih tergolong singkat. Ketiga, terdapat kode etik (dalam arti sempit) disebut juga code of conduct atau code of ethical conduct. Menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (dan mungkin di masa lampau pernah timbul). Umumnya lebih panjang dan bervarisi dari dua tiga halaman sampai menjadi buku kecil berisikan sekitar 50 halaman.
Kadang-kadang perushaan hanya memiliki 1 macam pernyataan etika itu atau dua atau malah tiga. Pembuatan kode etik adalah cara ampuh untuk melembagakan etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai berikut:
1.      Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan.
2.      Kode etik dapat membantu dalam menghilangkan grey area / kawasan kelabu di bidang etika.
3.      Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
Kode etik menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri.

Contoh Sebuah Perusahaan Global (Internasional)
  
The body shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Inggris dan bergerak di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan oleh Anita Roddick pada tahun 1976, dan dua puluh tahun kemudian sudah memiliki omzet setengah milyar dollar AS. Kini memiliki toko tersebar di seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di Amerika Serikat. Perusahaan ini selalu menitikberatkan manajemen yang etis. First and foremost are the values merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya Roddick pula yang pertama kali melontarkan gagasan mengenai audit sosial dan etis.
Setiap 2 tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi sosial dan etis. Audit pertama dilakukan oleh Institute of Social and Ethical Accountability dan diterbitkan dengan judul The Values Report 1995 (1996). Values Report itu terdiri dari 3 pernyataan yang membahas kinerja perusahaan di bidang sosial (HAM, kesehatan dan keselamatan kerja, diskriminasi dll), di bidang lingkungan hidup dan di bidang perlindungan binatang (masalah yang aktual khususnya untuk perusahaan kosmetika). Values Report membedakan 10 macam stakeholders dan membuat wawancara serta angket di antara mereka serta menentukan indikator-indikator kinerja. Manajemen diberi kesempatan untuk menanggapi kelemahan dengan merumuskan Next Steps. Dalam audit berikutnya diperiksa lagi bagaimana rencana ditidaklanjuti dan laporan akhir dipublikasikan (bersama dengan ringkasan dan lembar khusus untuk karyawan) dan diharapkan komentar dari luar.

3.                  Good Ethics, Good Business
Rupanya dalam dunia bisnis kini telah terbentuk sikap lebih positif. Sudah tertanam keinsafan bahwa bisnis harus berlaku etis demi kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar semboyan baru seperti Ethics pay (etika membawa untung), Good business is ethical business, Corporate ethics: a prime business assets.  Dalam buku populer yang ditulis oleh Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale tentang etika bisnis tertulis dengan huruf besar: Integrity pays! You dont have to cheat to win (Integritas moral membawa untung! Tidak perlu Anda menipu untuk menang).
Sukses perusahaan menjadi penyebab dan bukan akibat dari perhatiannya untuk etika. Kendati tidak ada jaminan mutlak, pada umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses juga. Berikut adalah beberapa catatan sebagai penutup yang menjabarkan etika dalam bisnis:
Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu komunitas moral. Moralitas bukan hanya merupakan suatu komitmen individual saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial. Kalangan bisnis sebagai keseluruhan harus berusaha mengubah haluan moral dan menuntut agar penguasa di atas menjamin suatu kerangka moral yang sehat. Namun membangun suatu etika bisnis yang baik tetap akan merupakan suatu perjuangan berat tetapi perjuangan juga yang sangat diperlukan.
Orang yang berpendapat dengan berpegang pada “etika pasti kalah” kemungkinan besar terlalu menitikberatkan jangka pendek dalam proses berbisnis dan mengabaikan jangka panjang, padahal jangka panjang yang justru paling hakiki untuk berhasil dalam bisnis.
Mereka yang meragukan perlunya etika dalam bisnis, sebaiknya tidak melupakan sejarah industrialisasi dan khusunya perjuangan anatara liberalisme dan sosialisme yang berlangsung disitu. Para pekerja harusnya diakui sebagai stakeholders yang paling penting dan menjadi trade mark dari industri yang dibangun.
Akhirnya yang belum diyakinkan tentang pentingnya etika dalam bisnis perlu mempertimbangkan persepsi dunia luar tentang kinerja bisnis Indonesia. Dalam forum internasional Indonesia dinilai termasuk negara yang paling korup. Sejak beberapa tahun ada cara lebih obyektif lagi untuk memandang kenyataan itu. Lembaga Transparency International yang berkedudukan di Berlin, Jerman setiap tahun mempublikasikan Corruption Perceptions Index (Indeks Persepsi Korupsi). Lembaga ini mendapat kredibilitas internasional dan bekerja sama dengan beberapa instansi internasional yang penting. Dalam indeks mereka sudah beberapa tahun berturut-turut tampak bahwa Indonesia dipandang sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia. Tahun 1999, Indonesia menempati urutan ke 97 dalam daftar 99 negara dengan skor 1,7 pada skala 10. Jelas jika kekurangan moralitas dalam kegiatan bisnis yang berlangsung terus semua sebagai bangsa kalah terhadap negara-negara tetangga dan negara-negara lebih jauh yang berhasil menjalankan ekonominya dengan efisien. Realisasi AFTA dan APEC tinggal beberapa tahun lagi. Seperti halnya dengan ekonomi, moralitas pun merupakan suatu kenyataan universal yang berdampak universal pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar