NORMA, MORAL
DAN ETIKA
DALAM BISNIS GLOBAL
Dilihat
dari perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan
antar bangsa-bangsa. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Roberson
(1721-1793) menegaskan bahwa perdagangan memperlunak dan memperhalus cara
pergaulan manusia. Begitupun menurut filsuf dan ahli ilmu politik Perancis,
Montesquieu (1689-1755) yaitu hampir menjadi gejala umum bahwa di mana adat
istiadat bersifat halus, di situ ada perdagangan, dan dimana ada perdagangan di
situ adat istiadat bersifat halus. Yang pasti perdagangan sanggup menjembatani
jarak jauh dan menjalin komunikasi serta hubungan baik antara manusia.
Hubungan
yang sudah memiliki tradisi lama itu kini tampak dengan cara baru. Dengan
sarana transportasi dan komunikasi yang dimiliki sekarang bisnis menjadi lebih
penting lagi. Namun gejala globalisasi ekonomi jika dipandang dari sudut moral
memiliki sisi negatif dan positif. Di satu pihak meningkatkan rasa persaudaraan
dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan demikian melanjutkan tradisi
perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak bisa berakhir dalam suasana
konfrontasi dan permusuhan karena mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang
dagang melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang dipertaruhkan di situ.
Berikut beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf
internasional :
1.
Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional
Salah satu
masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis
adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Richard De George membicarakan 3
jawaban atas masalah itu. Tiga-tiganya ada benarnya dan ada salahnya, tapi
secara menyeluruh tidak bisa diterima. Berikut ketiga jawaban :
1.
Menyesuaikan diri
Untuk
menunjukan sikap yang tampak dalam pandangan pertama bahasa Indonesia
menggunakan peribahasa “Di mana bumi berpijak, disana langit dijunjung”.
Maksudnya kalau sedang mengadakan kegiatan di tempat lain, bisnis harus
menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu.
Kebenaran
yang terkandung dalam pandangan ini maksudnya norma-norma moral yang penting
berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-moral untuk perilaku
manusia bisa berbeda diberbagai tempat. Sehingga memperhatikan situasi yang
berbeda turut mempengaruhi keputusan etis.
2.
Rigorisme moral
Pandangan
ini dapat disebut rigorisme moral karena mau mempertahankan kemurnian etika
yang sama seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di
luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri
dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di
tempat lain.
Mereka
berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya sendiri, tidak mungkin
menjadi kurang baik di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan
ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma
etis memang bersifat umum. Yang buruk di suatu tempat tidak mungkin menjadi
baik dan terpuji di tempat lain.
3.
Imoralisme naif
Menurut
pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu berpegang pada norma-norma
etika. Memang harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum (sejauh ketentuan itu
ditegakan di negara bersangkutan) tetapi tidak terikat oleh norma-norma moral.
Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi
merugikan karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaan lain yang tidak begitu
scrupulous atau cermat dengan etika
akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan.
·
Masalah Dumping dalam Bisnis Internasional
Dumping
adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan
harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi.
Para konsumen justru merasa beruntung sekurang-kurangnya dalam jangka pendek
karena dapt membeli produk dengan harga murah, sedangkan para produsen
menderita kerugian karena tidak sanggup menawarkan produk dengan harga semurah
itu.
Dumping
produk bisa terjadi karena si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga
ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif
lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga.
Sebenarnya praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar
bebas. Kelompok bisnis yang ingin terjun ke dalam bisnis internasional dengan
sendirinya melibatkan diri untuk menghormati keutuhan sistem pasar bebas.
Kriteria
yang dipakai untuk menentukan ada tidaknya dumping, Kwik Kian Gie menegaskan
bahwa menekan harga ekspor dengan memberikan upah yang tidak adil menurutnya
tergolong dumping juga. Jika faktor penyusutan aktiva sepenuhnya dibebankan
kepada harga produk yang dijual di dalam negeri sedangkan faktor itu tidak
dikalkulasikan dalam harga ekspor, keadaan itu harus dinilai sebagai dumping.
Dalam hal dumping satu faktor biaya tertentu yaitu penyusutan aktiva tetap
harus sama standarnya. Untuk standar upah buruh harus ada batasan minimumnya.
Sulit
memang menentukan adanya dumping. Bertumpu pada kesadaran tidaklah cukup,
dibutuhkan suatu pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu
prosedur obyektif yang menerapkannya. Meskipun dalam organisasi perdagangan
dunia (WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai
model untuk membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya.
·
Peranan Etika dalam Bisnis
Jika
perusahaan ingin mencatat suksses dalam bisnis menurut Richard De George
membutuhkan 3 hal pokok yaitu produk yang baik, manajemen yang mulus, dan
etika. Guna memperoleh produk yang baik, si pebisnis bisa memanfaatkan seluruh
perangkat ilmu dan teknologi modern. Guna mencapai manajemen yang mulus, si
pebisnis bisa memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. Namun
dibandingkan dengan segala usaha dan program yang diadakan untuk meningkatkan
kemampuan manajemen dan bisnis, etika daam bisnis masih sangat terbatas. Tetapi
yang penting sekarang peranan etika mulai diakui dan diperhatikan. Berikut
adalah kesimpulan umum tentang berbagai aspek dari peranan etika dalam bisnis:
·
Bisnis Berlangsung dalam Konteks Moral
Ternyata
makin maju suatu masyarakat, makin besar pula ketergantungan satu sama lain
dibidang ekonomi. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak dalam masyarakat modern.
Tetapi kalau merupakan suatu fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak
dapat dilepaskan dari aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam
pergaulan sosial, termasuk juga aturan-aturan moral. Berikut adalah beberapa
pendapat yang masih menyangkal perkaitan etika dengan bisnis:
·
Mitos mengenai bisnis amoral
Sebagaimana
fungsi khusus matahari adalah memancarkan cahaya serta panas dan di situ tidak
masuk faktor etika, demikian juga pebisnis membatasi diri pada tugasnya saja.
Richard De George menyebut pandangan itu the
myth of amoral business, mitos yang mengatakan bahwa bisnis itu amoral
saja. Dalam bisnis orang menyibukan diri dengan jual beli, membuat produk /
menawarkan jasa dengan merebut pasaran dan mencari untung tetapi orang tidak
berurusan dengan etika / moralitas.
Bahwa
bisnis itu sendiri netral terhadap moralitas jadi amoral merupakan suatu mitos
/ cerita dongeng saja, berarti tidak benar. George mengatakan bahwa mitos itu
telah ditinggalkan karena nilai-nilai moral tidaklah kalah penting. De George
menemukan 3 gejala dalam masyarakat yang menunjukan sinarnya mitos tersebut.
(1) dalam media massa sering diberi liputan luas kepada skandal-skandal di
bidang bisnis. Bisnis ternyata disoroti tajam oleh masyarakat. Masyarakat tidak
ragu-ragu mengaitkan bisnis dengan moralitas. (2) Bisnis diamati dan dikritik
oleh semakin banyak LSM terutama LSM konsumen dan LSM pecintan lingkungan hidup
yang berkaitan dengan etika. (3) Bisnis sendiri mulai prihatin dengan dimensi
etis dalam kegiatannya. Hal itu tamapak dalam refleksi yang mereka buat
mengenai aspek-aspek etis dari bisnis melalui konferensi, seminar, artikel dalam
surat kabar, timbulnya kode-kode etik yang disusun oleh semakin banyak
perusahaan dll.
Kini telah
terbentuk keyakinan cukup mantap bahwa bisnis tidak terlepas dari segi moral.
Bisnis tidak saja berurusan dengan angka penjualan (sales figures) / adanya profit
pada akhir tahun anggaran. Good bussiness
memiliki juga suatu makna moral.
·
Mengapa bisnis harus berlaku etis?
Bertanya
mengapa bisnis harus berlaku etis sebetulnya sama dengan bertanya mengapa
manusia pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis hanya merupakan suatu bidang
khusus dari kondisi manusia yang umum. Secara singkat ada 3 jawabannya berasal
dari agama, filsafat modern dan filsafat Yunani Kuno:
1.
Tuhan adalah hakim kita
Menurut agama, sesudah kehidupan
jasmani manusia hidup terus dalam dunia baka di mana Tuhan sebagai Hakim Maha
Agung akan menghukum kejahatan yang pernah dilakukan dan mengganjar kebaikan.
Walaupun tentu sangat diharapkan setiap pebsinis akan dibimbing oleh iman
kepercayaannya menjadi tugas agama (bukan etika filosofis) mengajak para pemeluknya
untuk tetap berpegang pada motivasi moral itu.
2.
Kontrak sosial
Hidup dalam masyarakat berarti
mengikat diri untuk berpegang pada norma-norma dan nilai-nilai tersebut. De
George menerapkan pandangan itu atas sektor bisnis. De George menegaskan: morality is the oil as well as the glue of
society and therefore of business. Minyak pelumas karena moralitas
memperlancar kegiatan bisnis dan semua kegiatan lain dalam masyarakat. Lem
karena moralitas mengikat dan mempersatukan orang-orang bisnis seperti juga
semua anggota masyarakat lainnya. Moralitas merupakan syarat mutlak yang harus
diakui semua orang jika kita ingin terjun dalam kegiatan bisnis.
3.
Keutamaan
Menurut Palto dan Aristoteles
keutamaan sebagai disposisi tetap untuk melakukan yang baik adalah
penyempurnaan tertinggi dari kodrat manusia. Manusia yang berlaku etis adalah
baik begitu saja, baik secara menyeluruh bukan menurut aspek tertentu saja.
Mestinya pebisnis menjalankan pekerjaannya dengan baik serta jujur. Karena jika
ia berada di luar moral community, ia
membuang martabatnya sebagai manusia sehingga ia tidak bisa lagi disebut
makhluk moral.
2.
Kode Etik Perusahaan
Manfaat dan kesulitan aneka macam
kode etik perusahaan
Suatu
fenomena yang masih agak baru adalah kode etik tertulis untuk sebuah
perusahaan. Fenomena itu mulai mencuat dalam dasawarsa 1970-an karena
terjadinya skandal korupsi dalam kalangan bisnis. Baru setelah itu timbul
keinsafan untuk mencegah terjadinya hal negatif itu. Perkembangan itu mulai tampak
di Amerika Serikat kemudian diikuti Inggris dan negara-negara Eropa Barat
lainnya.
Pada
kenyataannya kode etik perusahaan ada beraneka ragam. Patrick Murphy
menggunakan istilah umum ethics
statements dan membedakan 3 macam. Pertama, terdapat value statements atau pernyataan nilai. Dokumen seperti itu singkat
saja dan melukiskan apa yang dilihat oleh perusahaan sebagai misinya. Jadi
nilai-nilai yang dikemukakan sering kali lebih luas daripada nilai-nilai etis
saja. Kedua, ada corporate credo atau
kredo perusahaan. Yang biasanya merumuskan tanggung jawab perusahaan terhadap
para stakeholder khususnya konsumen, karyawan, pemilik saham, masyarakat umum,
dan lingkungan hidup.
Pernyataannya
sering kali lebih panjang dan meliputi beberapa alinea tetapi masih tergolong
singkat. Ketiga, terdapat kode etik (dalam arti sempit) disebut juga code of conduct atau code of ethical conduct. Menyangkut
kebijakan etis perusahaan berhubungan dengan kesulitan yang bisa timbul (dan
mungkin di masa lampau pernah timbul). Umumnya lebih panjang dan bervarisi dari
dua tiga halaman sampai menjadi buku kecil berisikan sekitar 50 halaman.
Kadang-kadang
perushaan hanya memiliki 1 macam pernyataan etika itu atau dua atau malah tiga.
Pembuatan kode etik adalah cara ampuh untuk melembagakan etika dalam struktur
dan kegiatan perusahaan. Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai
berikut:
1. Kode etik dapat meningkatkan
kredibilitas suatu perusahaan.
2. Kode etik dapat membantu dalam
menghilangkan grey area / kawasan kelabu
di bidang etika.
3. Kode etik dapat menjelaskan
bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.
Kode etik
menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya kemungkinan untuk
mengatur dirinya sendiri.
Contoh Sebuah Perusahaan Global
(Internasional)
The body
shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Inggris dan bergerak
di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan oleh Anita
Roddick pada tahun 1976, dan dua puluh tahun kemudian sudah memiliki omzet setengah milyar dollar AS. Kini
memiliki toko tersebar di seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di
Amerika Serikat. Perusahaan ini selalu menitikberatkan manajemen yang etis.
First and foremost are the values merupakan ungkapan terkenal dari Anita
Roddick. Rupanya Roddick pula yang pertama kali melontarkan gagasan mengenai
audit sosial dan etis.
Setiap 2
tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi sosial dan etis. Audit
pertama dilakukan oleh Institute of Social and Ethical Accountability dan
diterbitkan dengan judul The Values Report 1995 (1996). Values Report itu
terdiri dari 3 pernyataan yang membahas kinerja perusahaan di bidang sosial
(HAM, kesehatan dan keselamatan kerja, diskriminasi dll), di bidang lingkungan
hidup dan di bidang perlindungan binatang (masalah yang aktual khususnya untuk
perusahaan kosmetika). Values Report membedakan 10 macam stakeholders dan
membuat wawancara serta angket di antara mereka serta menentukan
indikator-indikator kinerja. Manajemen diberi kesempatan untuk menanggapi
kelemahan dengan merumuskan Next Steps. Dalam audit berikutnya diperiksa lagi
bagaimana rencana ditidaklanjuti dan laporan akhir dipublikasikan (bersama
dengan ringkasan dan lembar khusus untuk karyawan) dan diharapkan komentar dari
luar.
3.
Good Ethics, Good Business
Rupanya dalam dunia bisnis kini telah terbentuk
sikap lebih positif. Sudah tertanam keinsafan bahwa bisnis harus berlaku etis
demi kepentingan bisnis itu sendiri. Terdengar semboyan baru seperti Ethics pay
(etika membawa untung), Good business is
ethical business, Corporate ethics: a prime business assets. Dalam
buku populer yang ditulis oleh Kenneth Blanchard dan Norman Vincent Peale
tentang etika bisnis tertulis dengan huruf besar: Integrity pays! You dont have to cheat to win (Integritas moral
membawa untung! Tidak perlu Anda menipu untuk menang).
Sukses perusahaan menjadi penyebab dan bukan akibat
dari perhatiannya untuk etika. Kendati tidak ada jaminan mutlak, pada umumnya
perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses juga. Berikut
adalah beberapa catatan sebagai penutup yang menjabarkan etika dalam bisnis:
Etika bisnis hanya bisa berperan dalam suatu
komunitas moral. Moralitas bukan hanya merupakan suatu komitmen individual
saja, tetapi tercantum dalam suatu kerangka sosial. Kalangan bisnis sebagai
keseluruhan harus berusaha mengubah haluan moral dan menuntut agar penguasa di
atas menjamin suatu kerangka moral yang sehat. Namun membangun suatu etika
bisnis yang baik tetap akan merupakan suatu perjuangan berat tetapi perjuangan
juga yang sangat diperlukan.
Orang yang berpendapat dengan berpegang pada “etika
pasti kalah” kemungkinan besar terlalu menitikberatkan jangka pendek dalam
proses berbisnis dan mengabaikan jangka panjang, padahal jangka panjang yang
justru paling hakiki untuk berhasil dalam bisnis.
Mereka yang meragukan perlunya etika dalam bisnis,
sebaiknya tidak melupakan sejarah industrialisasi dan khusunya perjuangan
anatara liberalisme dan sosialisme yang berlangsung disitu. Para pekerja
harusnya diakui sebagai stakeholders yang paling penting dan menjadi trade mark
dari industri yang dibangun.
Akhirnya yang belum diyakinkan tentang pentingnya
etika dalam bisnis perlu mempertimbangkan persepsi dunia luar tentang kinerja
bisnis Indonesia. Dalam forum internasional Indonesia dinilai termasuk negara
yang paling korup. Sejak beberapa tahun ada cara lebih obyektif lagi untuk
memandang kenyataan itu. Lembaga Transparency International yang berkedudukan
di Berlin, Jerman setiap tahun mempublikasikan Corruption Perceptions Index
(Indeks Persepsi Korupsi). Lembaga ini mendapat kredibilitas internasional dan bekerja
sama dengan beberapa instansi internasional yang penting. Dalam indeks mereka
sudah beberapa tahun berturut-turut tampak bahwa Indonesia dipandang sebagai
salah satu negara yang paling korup di dunia. Tahun 1999, Indonesia menempati
urutan ke 97 dalam daftar 99 negara dengan skor 1,7 pada skala 10. Jelas jika
kekurangan moralitas dalam kegiatan bisnis yang berlangsung terus semua sebagai
bangsa kalah terhadap negara-negara tetangga dan negara-negara lebih jauh yang
berhasil menjalankan ekonominya dengan efisien. Realisasi AFTA dan APEC tinggal
beberapa tahun lagi. Seperti halnya dengan ekonomi, moralitas pun merupakan
suatu kenyataan universal yang berdampak universal pula.